Apakah Cukai Rokok Harus Naik? -- Part 1

2008-06-04 Leave a Comment

Tepat di depan lobi FEUI, terpasang sebuah spanduk tentang tuntutan terhadap kenaikan harga cukai rokok sebesar 57%. Logikanya, sedikitnya uang sebesar Rp 113.000 setiap bulannya terogoh dari kocek pribadi orang miskin di Indonesia. Dan rendahnya cukai di Indonesia saat ini sebesar 37%, diyakini semakin menumbuhsuburkan industri rokok tanah air dan semakin menambah tinggi jumlah perokok di Indonesia. Saya sendiri bukan seorang perokok tulen, tapi saya lebih tertarik untuk membahas ini daripada mengikuti kebodohan manusia yang selalu demo tentang penurunan kembali harga BBM!

Secara global, konsumsi rokok membunuh satu orang setiap 10 detik. WHO memperkirakan pada 2020 penyakit berkaitan dengan rokok akan menjadi masalah kesehatan utama di banyak negara. kebiasaan merokok dianggap menjadi entry point pada penyalahgunaan narkotik dan bahan berbahaya lainnya
(http://www.pdpersi.co.id/)

Coba kita berandai-andai seandainya cukai rokok itu diberlakukan, ada beberapa hal yang akan terjadi setelah itu. berikut adalah skenarionya menurut hemat saya:
  1. Kenaikkan cukai rokok, entah berapa pun itu besarannya, akan menjadikan insentif negatif bagi si perokok untuk terus menggandrungi "kekasih" mereka itu. Namun, jika eskalasi kenaikkan hanya tidak seberapa alias tanggung-tanggung, saya kira skenario ini takkan berhasil karena menurut hemat saya, rokok adalah salah satu barang yang inelastis, dimana secara teori, kenaikkan berapapun harganya, takkan mampu "mengusir" pembeli dari "jalan mereka". Mengapa begitu? karena rokok merupakan barang adiktif. Contoh kecilnya adalah ayah saya sendiri. Ayah saya adalah seorang perokok kelas berat, dan tahun 1998, ketika kenaikkan harga rokok Dji Sam Soe hampir mencapai dua kali lipat, hal itu tidak berpengaruh baginya karena menurutnya, lebih baik tak makan seharian dari pada tak merokok sama sekali dalam sehari. Dan jika hal itu terjadi, hal ini bukannya menyukseskan gerakan anti merokok, tapi malah mengantarkan rakyat miskin ke jurang kehancuran. Kenapa, karena dengan itu kita akan "membimbing" mereka melakukan post pengeluaran yang lebih tak semestinya. Survei secara nasional oleh WHO menunjukkan bahwa pria yang tidak sekolah/tidak tamat SD merupakan perokok terbanyak. Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang, makin sedikit yang jadi perokok. Sedangkan wanita hanya sedikit yang jadi perokok. Dan persentase manusia tidak berpendidikan di Indonesia saya kira melebihi mereka yang berpendidikan dan bentu piramidanya adalah lurus dengan mereka yang berpendidikan berada di puncaknya. Ketika membuat kebijakan, kita harus tahu bagaimana perilaku konstituen kita. Solusi saya untuk skenario ini adalah: naikkan nilai cukai rokok dengan setinggi-tingginya! (ambil yang paling maksimum dari yang bisa dimaksimumkan/maximax)
  2. Skenario kedua adalah antiseden dari skenario pertama. kenaikkan harga rokok juga akan menjadi insentif negatif bagi perusahaan rokok untuk melakukan produksinya. Siapa sih yang mau ditarik upeti yang tinggi? cukai rokok sudah pasti akan mengurangi laba bersih mereka. That's it, pajak adalah salah satu pengeluaran mereka. Hal ini akan diikuti oleh dua skenario turunan. Yang pertama, mereka akan menaikkan harga jual rokok. Skenario inilah yang diharapkan dengan kenaikkan cukai rokok bukan? dengan kenaikkan harga ini, diharapkan jumlah perokok di Indonesia bisa ditekan dan cadangan devisa pemerintah menjadi menggembung (meski tidak menjamin hal ini). Tapi harus diingat, kenaikkan harga rokok yang diikuti dengan skenario pertama diatas juga bisa menjadikan skenario kedua, yakni menurunnya omzet penjualan dari perusahaan rokok. Well, hal ini secara tidak langsung berpotensi menggiring perusahaan rokok menuju kebangkrutan. Eskalasi penurunan volume penjualan adalah penyebab. Dan hal ini bisa berdampak kepada penurunan harga saham perusahaan rokok (bagi perusahaan besar) dan yang paling parah lagi adalah secara perlahan, hal ini bisa mematikan perusahaan rokok yang berskala menengah kebawah. Dan mungkin anda bisa membayangkan bagaimana nasib para buruh bukan? Angka pengangguran di Indonesia masih beklum dapat ditekan hingga saat ini. Solusi dari saya untuk skenario ini adalah: sebisa mungkin tahan harga cukai rokok supaya tidak naik.
  3. Skenario terakhir adalah kemiripan dari skenario kedua. Bagaimana nasib mereka yang sudah terlanjur menanam tembakau, dan yang lebih ekstrim lagi, mereka yang sudah melakukan transaksi future untuk tembakau (meski itu sudah menjadi resiko mereka, untuk future)
Dilihat dari dua skenario diatas, terdapat sebuah dualisme mengenai kenaikkan harga cukai rokok. Ini semua adalah sebuah zero-sum game. Keuntungan pihak lain adalah kerugian bagi pihak. Saya masih belum bisa memberikan solusi konkrit tentang hal ini karena segalanya berhubungan dengan data (mungkin tulisan selanjutnya akan membahas lebih lanjut mengenai hal ini). Akan tetapi, saya hanya mencoba memberikan sudut pandang saya mengenai hal ini. Jika menilik kondisi ekonomi saat ini dimana kontorbusi cukai rokok masih berada diatas 30% devisa negara, saya pikir kenaikkan cukai rokok kurang tepat jika dilakukan saat ini. kecuali kalau sektor riil yang lainnya sudah berjalan semestinya.


2 comments »

  • embun said:  

    Menarik juga analisis Anda, kalau boleh menanggapi sebagai berikut:
    1. Tentang kenaikan cukai dan upaya menurunkan konsumsi rokok, perlu kita amati dari tiga kelompok konsumen rokok. Pertama, perokok aktif yang sudah lama merokok; kedua, perokok dari kelompok penduduk berpendapatan rendah/miskin; ketiga, perokok muda atau calon perokok. Kenaikan cukai rokok yang berimplikasi pada naiknya harga rokok tidak akan langsung 'memukul' konsumen tipe pertama karena faktor adiktif tersebut. Hal tersebut memang tak terhindarkan. Namun, kenaikan cukai/harga rokok dapat mengurangi perokok dari kelompok rumah tangga miskin (tipe konsumen kedua) dan mencegah perokok muda/calon perokok untuk membeli rokok. Oleh karena itu, upaya mengurangi konsumsi tembakau untuk meningkatkan kesehatan penduduk lebih efektif dan ditargetkan pada kelompok yang memang masih bisa diintervensi kedua kedua kelompok tersebut. Ada lagi satu kelompok konsumen rokok, yaitu perokok perempuan yang prevalensinya meningkat jauh lebih pesat dibanding perokok laki-laki. Harga yang tinggi diharapkan bisa menjadi semacam obstacle bagi mereka. Menurut saya, ini yang harus kita tekankan sambil menetapkan dalam jangka panjang perokok tipe pertama juga mulai mengurangi konsumsinya
    2. Menurut saya, kita Anda tetap konsisten dengan pendapat bahwa rokok adalah produk adiktif, maka meskipun harga rokok naik tidak akan berdampak serius terhadap permintaan akan rokok karena total konsumsinya relatif tetap. Jika kita berhasil mencegah calon perokok baru, maka secara agregat jumlah perokok yang ada adalah sama dengan tipe konsumen pertama dan kedua. Artinya, total permintaan untuk rokok tidak akan banyak berubah dalam jangka pendek. Coba ingat-ingat, mengapa produsen rokok mengeluarkan jenis rokok "mild" dan "tar rendah"? Hal tersebut karena mengantisipasi jenis cukai rokok yang sempat dinaikkan beberapa kali sebelumnya. Respon tersebut menunjukkan, produsen rokok masih memiliki ruang untuk menciptakan substitusi rokok baru yang belum dikenai aturan cukai yang ada. Artinya, argumen bahwa industri rokok dan petani tembakau akan terpukul jika cukai dinaikkan sangat 'bias' ke industri rokok.
    3. Data menunjukkan bahwa industri rokok dan petani tembakau hanya dikuasai oleh 4 propinsi di Indonesia. Secara persentase, kontribusi keduanya tidak lebih dari 3 persen dari keseluruhan industri manufaktur dan pertanian. Artinya, jika - dan hanya jika - betul kedua sektor tersebut akan collapse, maka biasa untuk melakukan relokasi dan kompensasi ke sektor lain sangat memungkinkan. Sebenarnya, tradeoff-nya cukup sederhana. Kita ingin mengedepankan kualitas kesehatan penduduk (yang berarti kualitas mutu modal manusia) atau membela industri (yang notabene bukan satu2nya industri dan bukan juga sektor industri unggulan)?

    Meski demikian, apa yang Anda sampaikan sangat baik dan bisa menjadi perhatian studi tersebut tentunya. Keep up your good thought!

    cheers

  • Fajar Indra said:  

    @ embun :

    trims masukannya, mungkin bisa dibuat kjian yang lebih mendalam lagi :)

  • Leave your response!

    Mohon untuk menyertakan nama dan identitas (alamat web) jika ingin berkomentar. Jika anda ingin ber-anonim, mohon cantumkan email dan nama anda.