Miskin Karena "Salah Kaprah"?
Entah mengapa, begitu banyak orang miskin di republik ini. Padahal, konon katanya bangsa ini dianugrahi oleh kekayaan alam yang melimpah. Sejenak, saya setuju dengan Vilferdo Pareto, seorang ekonom Italia yang lahir di Paris. Hukum yang juga dikenal dengan Prinsip 80/20 (the 80/20 Principle) itu mengatakan bahwa 80 % akibat berasal dari 20 % penyebab. Dalam hal ini, saya jadi tertegun, apakah 80 % kemiskinan di Indonesia itu disebabkan oleh 20% orang?
Sejujurnya, terkadang saya berpikir. Apakah lantaran sudah merasa makmur, lalu bangsa ini nggak pernah sadar ketika mereka ketinggalan? Tengoklah negeri Skandinavia seperti Finlandia dan Swedia. Betapa luar biasanya perkembangan mereka dalam satu dasawarsa terakhir jika dilihat dari pendapatan perkapita mereka. Padahal dulunya, negeri-negeri itu nggak lebih dari sebuah wilayah yang sangat "merindukan" cahaya matahari setiap harinya. Ataukah karena bangsa ini nggak terlalu pintar buat berkembang?
Banyak para ekonom yang mengatakan bahwa kemiskinan adalah keniscayaan yang harus terjadi. Ya, karena dengan adanya kemiskinan, diharapkan ada sebuah insentif untuk melakukkan mobilitas vertikal. Benarkah? Mungkin benar. Secara umum, saya sendiri membagi kemiskinan ini menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah kemiskinan karena malas. Jujur, di Jakarta, apapun bisa menjadi uang lantaran 70% uang di Indonesia beredar di Jakarta. Hanya masalah kreativitas dan kerja keras saja yang menentukan, apakah kita bisa mendapatkan apa yang kita mau. Tapi beberapa manusia terkadang gengsi atau malas melakukan pekerjaan yang tidak mereka sukai. Bagian kedua adalah kemiskinan karena keterbatasan informasi. Atau bahasa gampangnya dia nggak tahu, uang ada dimana. Nah, ini yang jadi penyakit pemerintah. Informasi disini bisa berarti pendidikan, jaringan, atau informasi secara konkrit.
Pendidikan adalah sebuah aspek yang sangat lemah di bangsa ini. Tapi ya sudah lah, saya bukan orang kompeten yang bisa memberi ide tentang bagaimana cara mendidik yang baik. Tapi, seenggaknya saya sangat miris melihat kadar pendidikan bangsa ini. Di CDT, saya sempat melakukkan survey terhadap 70 responden di Makassar dan Pare-Pare ditambah 35 responden dari Jogja. Hasilnya, tidak lebih dari 5% yang pernah merasakan bangku kuliah. Memang, hal ini tidak representatif terhadap kesimpulan mengenai kadar pendidikan di Indonesia karena memang survey yang saya lakukan bukan bertujuan untuk itu.
Saya mungkin tak perlu menjabarkan lagi kebobrokan pendidikan di republik ini. Mungkin anda pembaca, sudah jauh lebih tahu dari saya. Tapi saya memaklumi itu. Bagaimana tidak, lha wong APBD yang jumlahnya milyaran atau bahkan trilunan rupiah yang bisa untuk membiayai pendidikan justru lari ke klub peserta Liga Super Indonesia 2008. Padahal para petinggi klub itu mengklaim bahwa mereka klub profesional. Sungguh Memalukan !!! Itu belum termasuk uang "sisa" pembelanjaan yang harus habis pada waktunya. Nah, gimana Indonesia maju kalo kayak gitu. Saya pernah mengobrol ringan dengan salah seorang "pengemis profesional" dari kampung Lio, Depok. Dia hanyalah seorang lulusan SMP. Baginya, jangankan masuk SMA, lulus SMP saja sudah syukur.
Pendidikan memang mahal. Saya tidak memungkiri hal itu. Cobalah anda kuliah di Ivy League, AS di kampus apa saja. Mungkin biaya kuliah anda satu semester di sana sebanding dengan biaya hidup anda selama tiga tahun disini. Semakin tinggi ilmu yang mungkin dibagi, semakin mahal harganya. Itu hukum alam bukan? Dan saya pikir, jika anda seorang profesor dan anda mau tidak dibayar untuk mengajarkan ilmu anda kepada orang lain, mungkin anda adalah 1% dari penduduk dunia di golongan ini. Memang, jangan bandingkan AS dengan Indonesia, lantaran disposable income kita sangat berbeda jauh dengan warga AS. Kita sangat jauh di bawah.
Lantas, apakah para orang kaya itu diam saja? Nggak juga kok. Buktinya, beasiswa bejibun sampai numpuk-numpuk, seenggaknya di kampus saya. Setahu saya sebagian besar pengusaha di Indonesia berpikir, daripada mereka membayar pajak yang tinggi, mendingan uangnya buat rapel-an beasiswa.
Masalahnya seperti yang saya bilang diatas tadi. Pengeluaran yang nggak semestinya banyak terjadi di kalangan pemerintah. Pengeluaran untuk Olahraga, terutama buat klub-klub itu terlalu besar. Jujur, saya malah melihat bahwa pemerintah lebih peduli dengan prestasi Timnas Indonesia dari pada prestasi rakyatnya di bidang akademis. Dan hasilnya? Ya, anda tahu sendiri lah. Bagi saya, hal itu membuktikan sebuah budaya instan di kalangan rakyat Indonesia. Anda mau tahu, subsidi pemerintah buat klub liga super habis buat apa? That's it, cuman buat bayar gaji pemain asing dan pemain bintang !!! Saya takut, pemerintah jadi salah kaprah akan hal ini. Mereka nggak tahu (atau mungkin pura-pura nggak tahu), prioritas yang lebih penting.
Well, saya sebenarnya adalah seorang yang sangat mendukung adanya persaingan dan liberalisme. Tapi di Indonesia tidak untuk dua hal, pendidikan & kesehatan. karena bangsa ini belum mampu lari kesana.
Disclaimer:
Gambar saya colong dari sini
Untungnya mulai tahun ini anggaran buat klub udah dikurangi dari APBD daerah soalnya udah ada SK Mendagri taon kemaren yg ngelarang penggunaan APBD buat klub, meskipun klub masih ada yg ngeyel dan makai cara ini itu supaya dananya keluar, toh ga bisa segede dulu lagi. Jadi duitnya bisa dipake buat yang lain (termasuk pendidikan dan kesehatan tentunya). Kalo pemerintah disebut peduli timnas kayaknya ga deh, soalnya pemerintah ga ngasih dana buat penyelenggaraan kompetisi ataupun latihan timnas (paling nimbrung buat renovasi senayan pas piala asia doang). PSSI emg banyak duit hasil sponsor ama morotin pengusaha sana-sini. Makanya banyak yg rebutan pengen jadi ketua ato anggota exco.
persoalan kemiskinan merupakan masalah pelik yang telah lama menghiasi kehidupan berbangsa dan bernegara khususnya Indonesia...
kalo dilihat dari persfektif Anggaran, soal pokoknya ada pada political wiil pemerintah untuk serius meilhat dunia pendidikan dan pemrataan ekonomi pada bangsa ini..
@ Heru :
Memang kayak gitu mas... tapi tetap saja, untuk klub PSIS saja, pemda jateng menyiapkan dana 18 milliar, kalau duitnya buat makan di surya baru, wareg tenan mas ^_^
@ enhal :
Segalanya tergantung pada pemerintah, apakah mereka mau serius atau tidak dalam mengentaskan kemiskinan. Pengentasan kemiskinan tak bisa dilakukan secara instan. Harus dengan pondasi yang kuat. Dan pondasinya adalah perbaikan mutu & kualitas pendidikan.
Artikel anda superb...
Makanan saya yang masih hamba dan tak tau apa-apa...
saya beruntung bisa mampir ke sini....
Semoga saya mendapat ilham untuk membantu negeri ini lepas dari aibnya, di sini.
huaaa fotonya sama yawh,,hihihihihi
temanya juga kurang lebih sama,,
^_^ ;;)