Bumi-ku Yang Terancam Punah
"Takutlah saat orang lain tamak dan tamaklah saat orang lain takut!"
Warren Buffet
Tanggal 12 Mei tahun 2008, genap 10 tahun Tragedi Semanggi yang menewaskan beberapa manusia itu terjadi. Saat itu pula seorang mahasiswa yang tengah mencoba peruntungannya di dunia pasar modal dengan kepercayaan diri yang cukup tinggi akhirnya memutuskan untuk memasukkan saham PT Bumi Resource Tbk (BUMI) ke dalam keranjang portofolionya. Alasan sederhana diluar perhitungan resiko yang begitu kompleks tidak lain adalah akselerasi profitabilitas perusahaan tambang ini yang begitu fantastis. BUMI saat itu didaulat sebagai perusahaan batubara yang memiliki pertumbuhan aset kedua terbesar di dunia. Dan sang investor muda pun tak segan merogoh koceknya untuk membeli beberapa lot saham BUMI dengan harga Rp 7265,- per lembarnya.
Namun apa daya, krisis keuangan global dan aksi korporasi PT Bakrie & Brothers (BNBR) "menjual" 35% saham BUMI kepada Northstar Pacific hanya karena alasan likuiditas benar-benar mengeruk "kekayaan" dari BUMI. Saat ini sejumlah pemegang saham BUMI antre dalam melakukan penjualan saham naas tersebut, tapi sialnya hanya sedikit pihak yang mau membelinya. Maka tidak heran jika volume perdagangan BUMI kamis lalu hanya 11.703.500 lembar saja atau 23.407 lot saja! Hal ini jauh dari rata-rata kapitalisasi pasar BUMI dalam lima bulan terakhir yaitu sebesar 155.987.347 lembar! Alih-alih melakukan profit taking, sang investor pun harus rela merealisasikan kerugiannya menjelang lebaran lalu sebesar Rp 4097,- per lembarnya atau sekitar 56.15% karena ketakutan akan meluncurnya harga saham tersebut. Dan ternyata, prediksi sang investor sedikit banyak benar. Hingga tulisan ini ditulis, harga saham BUMI pada penutupan kamis kemarin adalah Rp 860,- per lembarnya. Harga disinyalir akan turun lebih jauh lagi hingga level Rp 600,- per lembar!
Sebuah anomali memang, perusahaan yang dinilai begitu bonafit akhirnya luluh lantah berantakan di pasar saham. Memang, ada sebuah ketamakan dari investor Mei lalu ketika ia membeli saham BUMI. Saham yang sudah terlalu overvalue di harga Rp 8000-an dianggapnya merupakan saham dalam kategori blue-chip yang akan terus menerus mengalami kenaikkan. Kenyataannya adalah sebaliknya. Sang investor mengetahui dengan pasti karena melambungnya harga batubara saat itu, adalah faktor yang membuat harga saham batubara dunia mengalami bubble. Dari kondisi itu, mungkinkah kita masih percaya jasa para analis investasi? Jawabannya bisa iya bisa tidak, tergantung penggunaan. Yang pasti, kasus BUMI ini menunjukkan bahwa pasar tengah tidak efisien.
Mungkin seorang investor nilai seperti Warren Buffet akan tertawa terbahak-bahak dan menganggap bahwa saham-saham seperti BUMI adalah sebuah awal baginya untuk kembali mengokohkan diri sebagai manusia terkaya di dunia. Namun kita nantikan, apakah reversal effect yang diharapkan oleh para investor nilai akan muncul dalam kurun waktu beberapa bulan kedepan.
Nasib rupiah, mata uang yang mem-Bumi
Tak hanya BUMI, Rupiah pun akhirnya ikut mem-BUMI. Saat ini, perlahan tapi pasti US $ akan menembus level Rp 13000,-. Hal ini diperparah dengan keengganan masyarakat melepas dolar karena ekspektasi mereka akan dolar yang terus naik. Permintaan akan dolar pun bertambah, sehingga harganya semakin mahal. Sialnya, melonjaknya harga dolar ini tidak serta merta menguntungkan pihak eksportir karena kondisi negara pengimpor di dunia tengah mengalami resesi ekonomi.
Pemerintah pusing, mulai dari himbauan, teguran (dua senjata utama pemerintah), penjaminan dana nasabah maksimum Rp 2 Milyar,- hingga mempertahankan BI Rate sebesar 9,5% sudah dilakukan. Mereka berusaha agar capital outflow bisa ditekan sehingga uang itu tidak "kabur" kemana-mana seperti halnya krisis ekonomi tahun 1997. Namun mereka juga mengalami trade-off dimana sektor riil Indonesia jadi kurang bergairah karena tingginya tingkat suku bunga acuan yang mengakibatkan kredit usaha di Bank menggembung. Kredit untuk perumahan pun berubah menjadi sesosok monster yang menakutkan bagi nasabah. Untuk menghadapi permasalahan ini, BI pun telah mencoba melakukan operasi pasar terbuka seperti melakukan repo (repurchase agreement) surat utang negara dan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) melalui mekanisme lelang.
Pendapat pro dan kontra mengenai bertahannya BI Rate pun bermunculan. Pihak kontra mengatakan, sebaiknya pemerintah menggairahkan dulu sektor riil karena hal ini akan menunjang pertumbuhan ekonomi di masa yang akan datang. Karena percuma saja mempertahankan modal ekuitas jika toh akhirnya pertumbuhan ekonomi mengalami perlambatan. Nah, hal ini akan mengacu kepada lesunya nilai tukar.
Sementara pihak yang pro mengatakan bahwa perlunya pertahanan BI Rate adalah aksi capital control yang dilakukan demi mempertahankan arus modal dalam negeri. Posisi selisih aliran dana asing memang masih positif, namun hal ini dikhawatirkan akan menipis. Indonesia sendiri saat ini masih termasuk golongan emerging market[1] yang dianggap memiliki pertumbuhan ekonomi dan industri cukup baik. Jika uang tersebut bisa bertahan lebih lama, maka hal ini akan mempengaruhi nilai tukar rupiah, terhadap dolar dan yen.
Memang selalu ada trade-off antara keputusan jangka pendek dan jangka panjang. Dan hal itulah yang membuat saya ngeh, betapa sulitnya menjadi menteri keuangan. Tapi anehnya, para mahasiswa dan LSM yang hobby berdemo untuk menurunkan harga BBM tak ada yang bersuara untuk kasus ini. Padahal mereka kan kaum intelektual karena buktinya analisa fundamental mereka menganggap bahwa penurunan harga premium itu adalah sebuah keharusan. Pun jika ada yang berdemo, mereka hanya bicara tentang "Jangan Utang Kepada IMF". Mungkinkah masalah ini terlalu ringan untuk mereka?
Tapi paling tidak, keputusan Indonesia untuk tidak lagi bergantung pada IMF di KTT G-20 adalah suatu hal yang melegakan.
Salam,
1 Data dari Morgan Stanley Emerging Markets Index MSCI Emerging Markets
2 Data keuangan diambil dari Yahoo Finance
3 Gambar Bumi tanpa grafik diperoleh dari Googling (lupa nama situsnya... maaf ya buat yang ngerasa dibajak... hehehe)
4 Temen saya pernah nulis tentang 3 mitos di pasar modal (tulisannya di notes facebook). Mungkin bisa dilihat disini sebagai tambahan
mohon maaf, jangan pertamax ya :p
kalo gak boleh ang pertama, trus yang keberapa nih gw. walah kayak ekonomi glogal aja nih tuan rumah,he..he..
hemm kayaknya indra kembali mengeluarkan jurus2 ampuh dalam analisis ekonominya...nice posting bung.
Wah, analisisnya runtut banget, bro.
Siapa Peduli Bakrie kata Tempo.
Anomali pasar saham adalah cermin anomali ekonomi global saat ini.
Saatnya kita berjalan di arah real2 aja lah. perkuat kemandirian bangsa dalam usaha. Kita punya segalanya kok
Mahasiswa yang cerdas.... lumayan lah...... daripada yang cuman koar-koar di jalanan. Ini lebih elegan......
Analisisnya hebat... sumpah..... aku takjub.....
ckckck... aku bacanya sambil melongo... hehehe briliant posting :)
pemerintah bnr2 harus gerak cepet nih,masak dolar mau kyk dulu lg... bisa gak laku2 nih jualan
wew, pencerahan posting Kang....sampe bengong saya mengetahuinya
waduh,agak berat nih baca grafiknya,heheheh.
emang sudah saatnya sadar akan makin rusaknya bumi menuju kepunahan.
btw setuju banget tuh klo kita jangan ikutan minta duid ama IMF.
haduh... berat sekali tulisannya..adeeeuuuh,,,ampe mehol aku nya hahaha..
www.myblackraven.blogspot.com
hmm....
great article..
tapi pusing baca..
kebanyaken se..
hehehehe.. :p
kirain apaan....