RUU BHP, Antara Breakthrough & Kepercayaan
"Tidak ada sesuatu di dunia ini yang menawarkan return yang tinggi dengan resiko yang rendah, kecuali anda hidup di Surga."
Sebelum membaca tulisan saya, mohon singkirkan dulu paradigma pro & kontra tentang RUU BHP di benak anda. Mari sama-sama kita kaji secara cerdas dan holistik. Disini saya tidak bertindak sebagai pihak yang pro maupun kontra karena bagi saya, ada beberapa hal yang tertuang di UU tersebut, sangat bagus jika dapat diimplementasikan dengan baik. Namun ada juga beberapa hal yang agak "aneh" menurut saya. Saya sendiri tidak terlalu jago dalam menganalisa masalah hukum dan perundang-undangan karena memang bukan core saya, maka dari itu, di sini saya akan mencoba menganalisa dengan logika umum alias common sense. Saya akan sangat menghargai adanya masukan yang tidak bersifat emosional pada nantinya. Bagi anda yang ingin mendownload RUU tersebut, silakan klik disini (versi 12 Desember 2008).
Banyak yang mengatakan bahwa RUU BHP, dilihat dari aspek filosofis, adalah bentuk dari komersialisasi pendidikan karena akan membawa pendidikan ke ranah hukum privat. Seperti apa yang dikatakan ketua BEM UI jaman sekarang yang
Well, berhubung saya bukan seorang mahasiswa hukum dan saya kurang pandai berfilosofi, saya akan coba meninjau UU BHP ini dari aspek sosiologis, yaitu tentang kesiapan republik ini menghadapi implementasi dari UU tersebut. Banyak yang mengatakan bahwa UU ini mengandung komersialisasi yang luar biasa yang bisa "membunuh" pendidikan di Indonesia. Tapi jujur, dari 69 pasal yang ada, saya hanya kurang sreg dengan pasal 46 ayat 1 yang berbunyi
"Badan hukum pendidikan wajib menjaring dan menerima Warga Negara Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi dan kurang mampu secara ekonomi paling sedikit 20 (dua puluh) persen dari jumlah keseluruhan peserta didik yang baru."Mengapa mesti ada kata-kata paling sedikit? Hal itulah yang membuat saya kurang sreg karena pasal tersebut memungkinkan para Warga Negara Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi tapi kurang mampu secara ekonomi di luar angka 20% bisa terabaikkan. Seharusnya itulah yang dikritik. Selain itu, masalah evaluasi BHMN yang belum selesai-selesai juga bisa menjadi batu sandungan berikutnya bagi UU ini.
Tanggung Jawab Negara
Saya sangat setuju jikalau negara harus bertanggung jawab secara penuh dengan pendidikan. Namun, apakah otonomi yang ditawarkan oleh UU BHP akan mereduksi tanggung jawab tersebut? Saya rasa tidak 100 persen benar. Pemberian otonomi atau dalam istilah manajerial sering disebut desentralisasi hanya memberikan span of control yang lebih panjang kepada divisi-divisi di bawahnya tanpa mengurangi kontrol dan tanggung jawab atasan. Dalam hal ini, negara berfungsi sebagai "top manager" bagi pendidikan di Indonesia. Desentralisasi ini akan lebih memberikan kreativitas yang lebih kepada pihak divisi dibawahnya meski tetap saja memiliki sebuah trade-off berupa agency problem atau gap antar kepentingan dalam setiap lapisan manajerial. Nah, trade-off tersebut pasti tetap akan ada dalam segala bentuk organisasi sepanjang informasi masih belum tersebar secara sempurna (asymmetric Information).
Masalahnya sekarang ada pada krisis kepercayaan rakyat sebagai stakeholder pendidikan terhadap pemerintah pusat sebagai "CEO"-nya. Masalah terkait dengan agency problem tadi. Banyak yang mengkhawatirkan terjadinya penyimpangan-penyimpangan oleh PT yang memungkinkan terjadinya "kontrol sepihak". Jika sudah begitu, masalahnya bukan di UU BHP lagi, tapi lebih ke mental bangsa yang harus diluruskan. Lantas, apakah ada UU di Indonesia yang telah di sahkan selama ini mampu mengatasi agency problem tersebut secara sempurna? No way !!! Bahkan UU Pornografi sekalipun !!!
Komersialisasi
Saya kurang tahu pasti, mengapa para mahasiswa jaman sekarang begitu alergi mendengar kata-kata liberalisasi, komersialisasi, kapitalisasi, dsb. Padahal kalau menurut saya, kata-kata tersebut bisa sangat pas digunakan tergantung pada konteksnya. Jadi tidak bisa di-generalisir dengan seenaknya. Saya pun mencoba melihat tentang kendala komersialisasi di UU BHP dan saya kembali tidak melihat masalah yang ada.
Ada kekhawatiran bahwa praktik liberalisasi akan berujung pada praktik monopoli karena memungkinkan terjadi akumulasi modal pada perorangan yang mampu bertahan di dalam persaingan bebas (liberalisme), akumulasi modal ini pada perorangan ini akan menjadi suatu kekuatan tersendiri karena ia telah berhasil mengalahkan pesaing-pesaingnya, sehingga apabila tidak diimbangi dengan regulasi dan regulator yang kuat (Negara) maka yang terjadi adalah monopoli. Hal inilah yang menjadi ketakutan utama (disamping ketakutan-ketakutan lain) para agen penolak RUU BHP.
Sesuatu yang jelas 180 derajat berlawanan dengan pandangan saya. Liberalisme memang memungkinkan merger jikalau kue pasar yang diperebutkan mengecil sehingga untuk bermain-main dengan skala kecil bukanlah sebuah keputusan ekonomis. Namun filosofi dari liberalisme sendiri sepemahaman saya adalah konsep menuju pasar persaingan sempurna. Mungkinkah hal itu terjadi? jelas tidak, karena memang tidak ada yang sempurna di dunia ini. Maka dari itu, terbentuklah pasar persaingan monopolistik karena setiap pasar memang memiliki kekuatan monopoli. Liberalisme adalah persaingan, dimana negara tidak punya hak untuk mengintervensi persaingan tersebut (dalam kondisi ekstrim). Maka dari itu, sangat aneh jika ada kekhawatiran terjadinya monopoli karena penggabungan kekuatan. Hal ini dijelaskan dalam matriks pay-off game theory yang bertajuk Prisoner's Dilema.
Implementasi di Indonesia
Lantas apa kaitannya konsep-konsep diatas dengan pendidikan? Begini, dengan adanya persaingan bebas justru menuntut setiap perguruan tinggi untuk meningkatkan kualitasnya karena posisi bersaing. Diferensiasi apapun yang akan ditawarkan tidak akan pernah berguna jikalau tidak disertai oleh core product yang bagus. Mereka (PT) yang tidak berkualitas akan gulung tikar dan tidak lagi menjadi "sampah" bagi pendidikan di Indonesia. Sehingga kualitas sarjana yang didambakan akan membaik. Hal ini juga dilakukan oleh kampus-kampus yang sekarang tergabung dalam Ivy League di AS sekitar se-abad yang lalu. Hasilnya? sekarang mereka adalah yang terbaik di dunia. Saya pikir, sesuatu yang sangat berat dilakukan nanti adalah masalah transisi kurikulum. Tapi secara over-all, ini adalah sebuah gebrakan yang baik menurut hemat saya untuk jangka panjang, dengan catatan-catatan sebagai berikut:
- Kendala Geografis. Sebuah masalah yang akan ditimbulkan UU BHP ini adalah adanya peluang terjadinya pemusatan aktivitas pendidikan di wilayah tertentu yang memiliki perputaran uang yang tinggi. Maka dari itu, bagi pelosok-pelosok desa yang hanya ada sedikit uang berputar, akan sangat sulit mendapatkan pendidikan tinggi.
- Kendala Sosiologis. Generalisasi rakyat atas UU BHP yang identik dengan komersialisasi pendidikan juga menjadi masalah tersendiri. Media di Indonesia menurut saya kurang proporsional dan kurang cerdas dalam menyikapi isu tersebut. Saya yakin, para demonstran UU BHP tersebut kebanyakan akan cengok ketika ditanya :"Pasal Mana Yang Menunjukkan Adanya Komersialisasi?"
Pengaruh media juga yang menyebabkan informasi tentang BHP menjadi simpang siur. Seharusnya media tidak seenaknya meng-klaim tanpa menyebutkan UU-nya. Penolakan UU Pornografi sebenarnya sudah terlihat baik karena kritikan langsung berkaitan dengan aspek yuridis, dan hal itu disampaikan oleh media - Kendala Infrastruktur. Jikalau pemerintah konsisten dengan konsep persaingan yang dianut, seharusnya kendala ini tidak akan bermasalah karena adanya direct foreign investment yang lebih besar. Untuk saat ini, kebijakan pemerintah untuk mengklasifikasi PT berdasarkan kemampuan untuk "ber-BHP" merupakan solusi awal untuk negara yang sedang membangun.
- Kendala Birokrasi & Agency Problem. Ini akan menjadi masalah besar jikalau birokrasi di Indonesia masih awut-awutan. Masalah kepercayaan yang kurang dari rakyat kepada pemerintah juga terlihat jelas disini. Contoh konkritnya adalah aksi yang ada selama ini karena kekhawatiran timbulnya eksploitasi terhadap mahasiswa. Padahal filosofi BHP yang tertuang dalam UU-nya tidak merefleksikan kondisi itu.
- Satu hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah advokasi. Dengan sistem advokasi dari mahasiswa yang bobrok, apapun kondisinya akan tetap menyulitkan. Jangan sampai kasus advokasi di penerimaan mahasiswa baru di UI tahun 2008 lalu terulang lagi. Katanya BOP berkeadilan, tapi pihak mahasiswa yang capek-capek "berjuang" malah dikerjain sama rektorat. Saya hanya tertawa terbahak-bahak melihat kelakuan para mahasiswa tersebut.
"Jika anda kalah dalam sebuah medan pertempuran, pindahkan saja medannya ke medan yang anda lebih kuasai, dan hancurkan lawan anda."
Sun Tzu
Setelah ini semua, silakan disimpulkan, apakah saya mendukung UU BHP atau tidak, apakah dengan tulisan ini, saya "bersama mereka" atau "melawan mereka".
Salam,
Foto diambil dari sini
Hm...... nabi besar Sun Tzu........
Mas sepertinya memihak BHP dengan persyaratan-persyaratan dan ketentuan2 tertentu....
Dan saya memihak mas... klo ada yang slah, tolong luruskan....
Duh, gimana nih, mau komen apa? Bingung juga... yang jelas, aku suka tulisan2 dari mas Fajar satu ini.
Tak ada yang percaya ketika seseorang berkata: 'pemerintahan ini berjenis kelamin Kapitalisme" yang dicoba di pakain baju "empati" thdp rakyatnya....
kami hanya menginginkan pendidikan yang murah dan berkualitas !!!
anda mungkin belum pernah berposisi sebagai orang miskin seperti kami, makanya anda berani bilang seperti itu !!!
Mungkin arah pemikiran UU tersebut adalah memacu perguruan tinggi di Indonesia agar kelak bisa lebih berkualitas, atau setidaknya mengejar ketinggalan dengan Malaysia.
Disamping itu Pemerintah perlu mencari jalan keluarga yang riil terhadap mahasiswa berprestasi tapi kurang mampu. Berikan beasiswa.
Sebagai rakyat indonesia yg awam hukum, awam masalah ketatanegaraan dan sangat awam masalah lainnya, saya hanya berpikir kenapa pemerintah kita tidak mencontoh negara lain yg sudah maju seperti jerman misalnya, setahu saya pendidikan disana gratis?
Ini hanya komentar dari orang awam saja yg tidak tahu apa2
Maaf tambahaan nih lupa hehe..
gmn rakyat Indonesia mo pada pinter yah mas, kalo pendidikan aja mahal
@ Tolak BHP :
Tau dari mana anda kalo saya anak orang kaya? Ngasal deh ya...
@ Naruto Toys :
Di negara maju gratis? Ya Iyalah... lha wong pajaknya aja gila. Contohnya Jerman, disana harga BBM-nya terkena pajak alias lebih tinggi daripada harga ekuilibrium. Terus PPN sampai 45%. Indonesia cuma 10% coy... susah
Pendidikan memang mahal kok, tapi seharusnya ada subsidi buat yang nggak mampu. Itu udah ada di UU BHP (silakan dibaca). Cuma saya mempermasalahkan pasal 46 ayat 1.
Para mahasiswa, jangan kebanyakan berdemo. Inget ma ortu yang cari duit untuk sekolahmu. Kecuali jika anda sudah bisa cari uang sendiri.
saya bingung dengan undang-undang itu, sekarang saja sudah begitu aku gag tahu nanti anakku bakal sekolah apa tidak?
Kapan yah pemerintah itu pro ke rakyatnya, tanya ken..napa :D
@ dolls houses & harry seenthing :
tampaknya media terlalu kencang memberikan pengaruh kepada anda sekalian, saya juga bukan orang kaya kok, tapi saya kok berpikir berbeda ya sama anda sekalian ^_^
saya jg tak setuju dgn RUU tsb
Dukung UU BHP..
Tingkatkan kualitas pendiidkan Indonesia..
Harga sebuah pendidikan wajar klo mahal krn return yg didapatkan bisa jauh lebih tinggi dari investasi yang kita tanamkan saat ini..