Kenapa BBM harus naik?

2008-07-01 Leave a Comment

Sebenarnya bukan core competence saya membahas tentang hal yang bersifat makroekonomi yang satu ini dan saya pikir, sudah terlalu banyak orang yang menyuarakan pendapatnya mengenai naiknya harga BBM beberapa waktu lalu. Sebagian besar dari mereka bersifat kontra, namun entah mengapa saya justru berpikir sebaliknya. Saya hanya ingin share dengan rekan-rekan semuanya dalam blog ini sekaligus menjawab komentar-komentar rekan saya mengenai hal ini.

Ada beberapa alasan bagi saya yang mendukung sepenuhnya kenaikkan BBM untuk saat ini, pertama adalah masalah arbitrase. Seperti kita ketahui bahwa segala sesuatu yang memiliki harga yang berbeda di dunia, padahal bernilai sama, memungkinkan terjadinya arbitrase alias pengambilan keuntungan secara sepihak. Kemarin, seorang rekan menunjukkan artikel Kwik Kian Gie tentang kenaikkan harga BBM. Hal yang sama dilontarkan oleh Profesor Kwik di Aula Setyaningrum, Pusgiwa, UI empat tahun yang lalu ketika BEM UI jamannya Gari Primananda melakukan kajian sosial politik tentang kasus yang sama. Saat itu, saya seolah "termakan" dengan artikel pak Kwik. Sekarang? sepertinya tidak. Saya pribadi tidak tahu apakah pak Kwik berbicara sebagai seorang ekonom atau seorang politisi.Artikel sang profesor bisa dibaca disini

Tapi sebelum masuk ke pembahasan opini pak Kwik, saya ingin membahas masalah arbitrase ini. Saat ini, harga minyak dunia telah naik lantaran "kelangkaan" dan permainan politik negara-negara timur tengah yang memegang diatas 40% cadangan minyak dunia. Beberapa negara tetangga telah menaikkan harganya, apakah kita akan bertahan di harga yang lama demi "mensubsidi" rakyat? Taruhlah hal itu terjadi, misalnya harga minyak dunia adalah 140 USD per barrel, dan kita tetap menjual dikisaran USD 70 per barrel, jika seorang spekulan besar seperti George Soros menangkap sinyal itu, tentu dia akan membeli minyak di Indonesia dan menjualnya keluar negeri. Bisa dibayangkan, siapa yang diuntungkan bukan?

"sebenarnya yang ingin dikatakan pak Kwik adalah kita masih untung meskipun harga minyak dunia naik, karena minyak yang kita dapatkan dari hasil bumi kita (yang 85% tadi) kita tidak perlu membelinya dengan harga minyak dunia, bahkan dalam ilustrasinya itu kita dapatkan gratis, kita hanya mengeluarkan untuk biaya pemrosesan minyak mentah menjadi barang jadi premium, pertamax, dll"
Memang, pemerintah bisa saja memberikan kuota bagi ekspor minyak, lantas apakah pemerintah akan menangguk keuntungan untuk rakyatnya ketika hal itu dilakukan? Minyak di Indonesia dikenal sebagai minyak mentah yang terbaik di Asia dengan nilai oktan yang tinggi. Terutama minyak yang diproduksi di wilayah Riau dan sekitarnya. Menurut Pak Kwik, daripada dijual ke pihak asing, mendingan diambil buat keperluan sendiri, seenggaknya itu yang dilakukan Arab Saudi. Masalahnya, sebesar apa cadangan minyak mentah kita? Sebesar Arabkah? Dan lagi, apakah kita akan membiarkan para "spekulan" itu menghargai minyak kita yang berkualitas bagus dengan harga murah? Jika begitu, surga memang ada di telapak kaki spekulan. Dan kalo diputer-puter lagi, sebenernya siapa yang pada akhirnya menikmati subsidi itu? Memang, secara internal, kita masih untung dengan kenaikkan itu. Tapi bagi saya, itu hanya keuntunga n secara akuntansi, dan bukan ekonomis. Untuk apa pemerintah memiliki sejumlah cash profit tapi tetap saja ada pihak yang menangguk keuntungan arbitrase lebih besar dari pada itu?
"Jadi yang di tekankan ngga ada subsidi dari pemerintah untuk minyak, yang ada penerimaan atau untung pemerintah berkurang untuk APBN, pertanyaannya adalah Manusiawikah pemerintah mengambil untung dari penderitaan rakyatnya?"
Ini adalah salah satu komentar rekan saya yang mengacu pada artikel sang profesor. Sederhananya seolah seperti itu. Tapi jika dilihat lebih detail lagi, pemerintah sudah terus mempertahankan subsidi itu, yang berarti larinya sejumlah cash profit dari neraca perdagangan mereka (bukan APBN deh kayaknya...). Masalahnya, lari kemana uang itu setelah pemerintah bertahan dengan harga lama? Entahlah apakah dengan memberikan subsidi itu kepada para spekulan yang jauh lebih tajir daripada para petani salak di Magelang merupakan sebuah tindakan manusiawi atau tidak, saya kurang tahu ^_^
"Negara-negara yang anggarannya lebih kuat dari Indonesia yaitu Singapura, Malaysia bahkan Brunei sudah menaikkan harga BBM,
Jangan berpatokan pada negara yang anggarannya kuat mas, mereka dinaikkan juga ga masalah, karena memang pendapatan perkapitanya juga tinggi, lha rakyat kita dengan penghasilan yang segitu dipaksakan naik"
Hanya ingin meluruskan, masalah anggaran, saat ini negara dengan anggaran yang tinggi saja sudah menaikkan harga BBM. Apakah anggaran yang kuat itu berarti perekonomian negara tersebut itu kuat sehingga harga minyak dinaikkan tidak apa-apa? Baru kali ini saya tahu akan hal itu. Anggaran itu hanyalah sebuah perencanaan, dan bukan kondisi keuangan secara akuntansi, begitu yang selama ini saya mengerti. Lantas, apakah hubungan anggaran dengan pendapatan? Mungkin ada, tapi saya kira korelasinya tak begitu besar. Menurut saya, anggaran besar atau tidak tergantung dengan suasana pembangunan yang membutuhkan pengeluaran besar. Venezuela justru anggarannya jauh lebih besar dari Indonesia, meskipun pendapatan perkapitanya sama atau lebih kecil dari Indonesia.

Selain masalah arbitrase, ada juga masalah vendor. Saat ini, hanya pertamina dengan jargon kita untung bangsa untung (yang memperlihatkan mereka tak punya diferensiasi) yang bisa diandalkan oleh pemerintah. Percayakah pemerintah kepada perusahaan swasta Indonesia seperti Medco? Saya kira riskan. Pertamina tetap menjadi andalan. Coba bayangkan saat ini, ketika COGS (Harga Pokok Penjualan) dari minyak per barel mencapai USD 34 atau enam kali lipat COGS pasar, mau berapa harga jual nya? Coba kita bandingkan ketika Chevron bisa memproduksi dengan COGS USD 6-8 per barel. Apa yang terjadi? Setahu saya, COGS adalah post paling essensial dari sebuah perusahaan untuk melakukan proyeksi laba-ruginya selain beban operasional tentunya. Memang, ada penurunan laba operasional, nah, coba deh dihitung lagi, se-efisien itukah pemerintah melakukan investasi ke perusahaan? Entahlah. Apakah hal ini berarti membebankan kesalahan aparatur negara kepada rakyat miskin? Menurut saya, tidak bisa sepenuhnya seperti itu. Saat ini, semua orang memang shock berat dengan naiknya harga-harga secara langsung. Saya melihatnya sebagai dampak psikologis jangka pendek saja. Hal ini terjadi lantaran mereka berpikir daya beli mereka terkuras lantaran hal itu. Maka dari itu demonstrasi merebak dimana-mana meminta agar harga BBM turun. Itu wajar. Selama ini, kita sering menghitung untung rugi dengan basis uang tunai, secara akuntasi, mungkin dirugikan namun seiring semakin murahnya "harga sebuah rupiah", secara ekonomis hal itu sama saja. Selain itu, mereka seolah tak pernah berpikir dari sudut pandang yang lain yang juga short term. Yaitu kenaikkan upah. kenapa hal itu jangka pendek? karena toh harga akan kembali naik di jangka panjangnya lantaran gaji. bagaimana solusi jangka panjangnya? nanti dulu...

Yang aneh bagi saya adalah, mengapa ketergantungan masyarakat terhadap BBM begitu besar? Padahal harga pasti naik. Mengapa naik? Kita tahu bahwa BBM adalah unrenewable resource. Semakin langka, maka harganya akan semakin mahal. Barang tersebut sangat tidak elastis lantaran ketergantungan besar para rakyatnya. Salahkah rakyat? Tidak. hanya yang salah adalah cara mereka mengeluarkan pendapat. Menurut saya, paling tidak dalam kurun waktu dua sampai tiga tahun sekali, minyak pasti akan naik lantaran kelangkaan tersebut. Apakah para mahasiswa akan demo menurunkan harga BBM terus selama dua tahun sekali? Well, terserah sih ya... Kalo saya mah mendingan main game di kosan atau nyari duit buat makan sehari-hari.

Begini, mengapa tidak menuntut pemerintah untuk membuat energi substitusi? Selain itu, menurut saya, dari pada berbusa nuntut BBM turun harga, mendingan pikirin gimana caranya agar pengguna kendaraan bermotor di Indonesia itu menurun. Contohnya di UI (meski gue benci banget ngomongin hal ini) dengan gerakan bersepedanya, atau penerapan pajak kendaraan bermotor. Selain efektif mengurangi kemacetan, bisa juga membuat ketergantungan masyarakat terhadap BBM menurun bukan? Harus diakui, bukan rakyat kecil konsumen BBM terbesar, tapi adalah rakat menengah keatas. Selain itu, mungkin juga tuntutan agar pemerintah merencanakan pembuatan bahan bakar alternatif. Konversi minyak ke gas sebenarnya sudah sangat membantu rakyat kecil dalam menyiasati kenaikkan harga ini. Strategi ini sangat jangka panjang dan dibutuhkan pemikiran cerdas seperti apa yang telah dilakukan pemerintah Cina dengan biotech nya untuk menciptakan bahan bakar alternatif.

Kurang lebih seperti itulah yang ada dibenak saya tentang kenaikkan BBM. Saya hanya sekedar sharing kok, akan sangat senang jika anda yang memiliki pandangan lain bersedia berdiskusi dengan saya.

6 comments »

  • Anonymous said:  

    Hi,

    Saya jadi GR berkat comment saya di http://fajarindra.blogspot.com/2008/06/kerusuhan-atmajaya-antara-politisasi.html
    Anda secara khusus membahas masalah ini di artikel ini, sekaligus salut atas kepedulian dan tanggung jawab saudara.

    Yang pertama yang saya tekankan sama dengan anda saya tidak ada kompetensi di bidang ini, maap nantinya kalau ada ketidaktahuan, kesalahan, atau kata2 yang kurang enak di baca.ini sekedar diskusi, memperluas wacana, syukur2 ada yang kompeten di bidang ini ikut nimbrung,…

    Saya berlatar belakang orang teknik, jadi cenderung berpikir matematis dan logis (saya kira sebagian orang Indonesia seperti ini) karena mudah dimengerti daripada kata2 normatif ..(siap tidak popular, kita deficit blablabla triliun tanpa memberikan perhitungan, kita sudah berusaha sebaik mungkin,…etc) ,karena itu mengapa saya berpatokan pada kwik kian gie, beliau memperlihatkan bagaimana cara menghitung BBM mengapa kita rugi atau kita untung secara detail, meskipun ada yang menganggap perhitungannya terlampau sederhana, atau ada yang mempertanyakan mengapa pada saat beliau sebagai menteri dulu tetap pemerintahan yang di atasnya menaikkan BBM, dan seperti saudara juga katakan sebagai politisi atau sebagai ekonom, tapi beliau sekali lagi menjawabnya dengan lugas dalam koraninternet
    http://www.koraninternet.com/web/index.php?pilih=lihat&id=5088
    dan saya kecewa anda tidak memberikan alasan yang jelas mengapa tidak sepakat dengan kwik, alasan anda hanya didasarkan pada kecurigaan politisi atau ekonom…???

    Untuk itu dalam diskusi ini saya akan berbicara tentang hal2 yang sederhana dan dengan logika yang saya kira mudah dipahami..

    Tentang Arbitrase,

    arbitrase alias pengambilan keuntungan secara sepihak
    satau saya secara harfiah kata arbitrase berarti salah satu jenis alternatif penyelesaian sengketa dimana para pihak menyerahkan kewenangan kepada kepada pihak yang netral, yang disebut arbiter, untuk memberikan putusan. Jelasnya..:
    http://www.bapmi.org/in/glossary.php
    kalau seperti ini saya kurang paham korelasinya dengan tulisan anda..
    mohon penjelasan…..

    Saat ini, harga minyak dunia telah naik lantaran "kelangkaan" dan permainan politik negara-negara timur tengah yang memegang diatas 40% cadangan minyak dunia. Beberapa negara tetangga telah menaikkan harganya, apakah kita akan bertahan di harga yang lama demi "mensubsidi" rakyat? Taruhlah hal itu terjadi, misalnya harga minyak dunia adalah 140 USD per barrel, dan kita tetap menjual dikisaran USD 70 per barrel, jika seorang spekulan besar seperti George Soros menangkap sinyal itu, tentu dia akan membeli minyak di Indonesia dan menjualnya keluar negeri. Bisa dibayangkan, siapa yang diuntungkan bukan?

    1. bagaimana anda mengartikan “SUBSIDI” disini?
    BISAKAH ANDA MENJELASKAN ARTI KATA SUBSIDI seperti kwik kian gie menjabarkan perhitungannya tentu dengan angka asumsi anda..
    Jika saya analogikan seperti ini : saya mau membeli sebuah buku pelajaran rp 10.000 tapi uang saya ada RP 6.000 jadi saya disubsidi ibu RP 4.000, bisakah anada menunjukkan letak subsidi dalam kasus BBM ini??

    2. Adakah ketentuan kalau kita menjual BBM keluar negeri harus sama dengan harga ketika kita menjual di dalam negeri sendiri?
    Setau saya Indonesia tergabung dalam OPEC (negara2 pengekspor minyak) tentu harga yang berlaku pada saat kita menjual(mengekspor minyak) harga yang sudah ditetapkan di OPEC,
    Lalu lewat mana seorang seperti Gorge Soros bisa membeli BBM kita seharga USD 70 perbarel (seperti dalam ilustrasi anda)…???


    Tentang VENDOR,

    Pertamina tetap menjadi andalan. Coba bayangkan saat ini, ketika COGS (Harga Pokok Penjualan) dari minyak per barel mencapai USD 34 atau enam kali lipat COGS pasar, mau berapa harga jual nya? Coba kita bandingkan ketika Chevron bisa memproduksi dengan COGS USD 6-8 per barel.

    Pertanyaanya kenapa Chevron bisa kita (pertamina) ngga bisa…?
    Tanyaken kenapa??
    Mungkin peralatan yang kurang canggih, manusianya kurang kompeten, atau yang terburuk karena attitudenya para pegawainya (yang seneneng korupsi)..???
    Kalau alasan yang terakhir ada cerita dari teman yang punya saudara di pertamina…
    http://www.akupercaya.com/forums/diskusi-general/1305-kenaikan-bbm-2.html

    Selama ini, kita sering menghitung untung rugi dengan basis uang tunai, secara akuntasi, mungkin dirugikan namun seiring semakin murahnya "harga sebuah rupiah", secara ekonomis hal itu sama saja. Selain itu, mereka seolah tak pernah berpikir dari sudut pandang yang lain yang juga short term. Yaitu kenaikkan upah

    Perlu anda teliti, memang ada kenaikan upah khusunya yang kerja sebagai pegawai, tapi bagaimana dengan sopir angkutan umum, mereka menunggu berapa lama untuk mendengar pengumuman kenaikan angk. Umum dari pemerintah (biasanya banyak demo kan??), sementara belum ada kenaikan mau makan apa mereka..?? terus para pedagang kakilima mau menaikan barang dagangannya… ya berkuranglah pembeli atau
    Intinya memang menunggu waktu agar semuanya bias kembali normal, tapi apakah kita bias selama’ menunggu waktu’ itu rakyat kita bertahan???...
    Seperti inikah menunggu waktunya..
    http://jakartapress.com/news/id/1969/Yang-Miskin-Yang-Bunuh-Diri.jp
    sementara kalo orang seperti anda atau masyarakat yang berpenghasilan di atas rata2 bukan jadi masalah untuk ‘menunggu waktu’, tapi masyarakat misikin kita menurut BPS pada 2007 ada 19,5 juta..
    apakah kita rela melihat kesengsaraan yang rakyat sebanyak itu meskipun dalam rentang ‘menunggu waktu’ tsb???

    Yang aneh bagi saya adalah, mengapa ketergantungan masyarakat terhadap BBM begitu besar? Padahal harga pasti naik. Mengapa naik? Kita tahu bahwa BBM adalah unrenewable resource. Semakin langka, maka harganya akan semakin mahal. Barang tersebut sangat tidak elastis lantaran ketergantungan besar para rakyatnya. Salahkah rakyat? Tidak. hanya yang salah adalah cara mereka mengeluarkan pendapat

    Ya jelas donk, bergantung, bagaimana bisa seorang sopir angkot tanpa bbm, atau penjual kakilima tanpa minyak tanah serta nelayan tanpa solar???
    Memang BBM tidak dapat diperbarui dan makin lama makin habis, Tapi apakah menghematnya dengan cara menaikkan seluruh harga BBM???
    Kenapa ngga memilih untuk menaikkan harga pertamax yang jelas2 yang mengkonsumsi orang yang mampu dan melarang mobil pribadi membeli premium atau menaikan berkali-kali lipat pajak kendaraan (mobil) pribadi, sehingga membuat masyarakat ogah membeli mobil sehingga mengurangi konsumsi BBM sekaligus mengurangi kemacetan yang berimbas keefisiensi BBM???
    Kenapa bung?
    Karena anda sendiri mengakui yang memakai BBM orang2 yang mampu..

    Harus diakui, bukan rakyat kecil konsumen BBM terbesar, tapi adalah rakat menengah keatas

    Kalau soal energi alternative memang perlu dan saya mendukung serta harus… kita semua sepakat itu…


    Salam,

    Dian (lanang)

  • Fajar Indra said:  

    Masalah arbitrase, bingung saya neranginnya soalnya, silakan baca disini aja deh, saya takut kata-kata saya muter-muter sehingga bikin anda bingung:
    http://en.wikipedia.org/wiki/Arbitrage_pricing_theory
    (Itu basis teorinya)

    Saya sendiri nggak tahu apakah saya politis atau tidak. Tapi, insa allah, itu merupakan pendapat pribadi saya. Karena yang dikatakan Pak Kwik agak ”unik” bagi saya.

    Contoh subsidi kayak gini bukan? (pertanyaan anda kayak dosen saya aja...)
    “Harga pasar buku taroklah 15000, dijual di sekolah 10000 karena si kepala sekolah baik hati dan tidak sombong, berarti yang goceng tuh di subsidi sekolah. Taroklah saya itu orang bandel, saya beli buku itu 10000, terus saya jual ke pacar saya yang beda sekolah 14000, (soalnya dia cewek gue...jadi gue murahin dikit... hehehe). Eh bisa, jadi keterusan deh... saya borong itu buku dan saya jual 15000, cara simpel untuk mendapatkan uang bukan?”

    Begini lho pak, anda tahu kan siapa yang nentuin harga minyak dunia? OPEC kan? Terus yang (kurang lebih, misalnya) 70 per barel (bahkan bisa gratis!! Sehingga nggak perlu dijual dengan harga tinggi...) tuh sebenarnya siapa yang ilustrasiin yah? Saya kah? Kwik Kian Gie kah? Jadi bingung saya...

    Emang bener, ketentuannya kalau kita menjual BBM keluar negeri nggak harus sama dengan harga ketika kita menjual di dalam negeri sendiri.(ya itulah masalahnya bapak...) Kalo saya jadi spekulan, ngapain saya repot-repot beli minyak di pasar dunia, beli aja di Indonesia, jual ke pasar dunia.

    Anda menulis:”Perlu anda teliti, memang ada kenaikan upah khusunya yang kerja sebagai pegawai, tapi bagaimana dengan sopir angkutan umum, mereka menunggu berapa lama untuk mendengar pengumuman kenaikan angk. Umum dari pemerintah (biasanya banyak demo kan??), sementara belum ada kenaikan mau makan apa mereka..?? terus para pedagang kakilima mau menaikan barang dagangannya… ya berkuranglah pembeli atau
    Intinya memang menunggu waktu agar semuanya bias kembali normal, tapi apakah kita bias selama’ menunggu waktu’ itu rakyat kita bertahan???...”


    Begini deh...anda tahu kan apa itu purchasing power dan dampak kenaikkannya kan? Bingung saya neranginnya soalnya, silakan baca disini aja deh, saya takut kata-kata saya muter-muter sehingga bikin anda bingung:
    http://en.wikipedia.org/wiki/Market_economy#Market_mechanisms
    http://en.wikipedia.org/wiki/Purchasing_power

    Silakan dicari hubungannya ^_^

    Anda menulis:Pertanyaanya kenapa Chevron bisa kita (pertamina) ngga bisa…? Tanyaken kenapa??

    Bukan masalah tanya kenapa? Tapi what we gotta do in current condition bukan? Saya sih setuju pertamina bermasalah, (bahkan mendukung banget Pertamina di privatisasi! Karena itulah solusinya). Masalahnya adalah, kalo sekarang di kasih ke pertamina, nggak efisien. Terus ada ”spread” biaya disitu larinya kemana tuh?

    Anda menulis: Ya jelas donk, bergantung, bagaimana bisa seorang sopir angkot tanpa bbm, atau penjual kakilima tanpa minyak tanah serta nelayan tanpa solar???

    Aduh mas... maksud saya bukan kayak gitu, maksud saya adalah masalah penerapan pajak kendaraan yang kurang tinggi. Gini deh, jadi menurut anda ketergantungan BBM nggak bisa dikurangin gitu? Celaka 19 kalo gitu.

    Tapi apakah menghematnya dengan cara menaikkan seluruh harga BBM???
    Perasaan saya tak pernah berkata seperti itu deh, atau mungkin salah ya? Ini bukan masalah hemat nggak hemat, tapi masalah opportunity loss, cari di wikipedia aja deh...

    Kenapa ngga memilih untuk menaikkan harga pertamax yang jelas2 yang mengkonsumsi orang yang mampu dan melarang mobil pribadi membeli premium atau menaikan berkali-kali lipat pajak kendaraan (mobil) pribadi, sehingga membuat masyarakat ogah membeli mobil sehingga mengurangi konsumsi BBM sekaligus mengurangi kemacetan yang berimbas keefisiensi BBM???
    Itu kan yang gua bilang... tapi itu bukan berarti BBM nggak naekk... Itu adalah ”hedging” buat ngurangin resiko kenaikan BBM.

    http://en.wikipedia.org/wiki/Hedging
    (Konsepnya)

    Ya, saya cukup mengerti kok bagaimana matematisnya anak teknik, seenggaknya ketika saya mengambil mata kuliah Kinematika & Dinamika, Aljabar Linier, Kalkulus, ataupun Mekanika Fluida beberapa tahun silam, saya nggak lulus karena Mekflu gara-gara dapet D... hihihi oia btw anda dari kampus mana ya? Kalau boleh tahu ^_^

    Maaf, saya agak muter-muter kata-katanya karena logika saya adalah logika anak manajemen (hehehe...soriiii) jika anda ingin mendapatkan penjelasan yang lebih komprehensif, saya akan menghubungi rekan saya (http://fakhrulfulvian.blogspot.com/) dari Ilmu Ekonomi supaya penjelasannya lebih gamblang.

  • Fajar Indra said:  

    “Masih dalam Kabinet Gus Dur, harga BBM dinaikkan dua kali ketika Menko EKUIN dijabat oleh Dr. Rizal Ramli, yaitu pada tanggal 1 Oktober 2000 dan tanggal 16 Juni 2001.

    Namun yang saya ketahui, pertimbangan menaikkan harga tidak mengacu pada harga minyak mentah yang terbentuk di New York Mercantile Exchange, melainkan atas dasar hikmah kebijaksanaan dengan pertimbangan kepatutan, daya beli rakyat dan nilai strategisnya BBM.”

    “Maka kalaupun subsidi harus diartikan sebagai kerugian, sifatnya kerugian kesempatan atau opportunity loss, bukan kerugian uang tunai atau real cash money loss.”


    Wah… Kwik Kian Gie ngomong kayak gitu yah… nggak tahu lagi deh gua… hahaha, nntar deh ya gue komen itu tulisan… sekarang mw ngerjain paper dulu :P

  • Anonymous said:  

    OPORTUNITY LOSS??? KALO HARGA BBM NAIK YANG DAPAT OPORTUNITY CUMA PEJABAT DAN PNS (KARENA YANG DAPAT KENAIKAN GAJI CUMA MEREKA),SEDANG RAKYAT YANG DAPAT LOSS NYA KEHILANGAN KESEMPATAN HIDUP MAKMUR KARENA PENDAPATANNYA DIMAKAN INFLASI DAN KENAIKAN SEMUA BARANG DAN JASA.PADAHAL MINYAK ADALAH MILIK SEMUA RAKYAT,KARENA ITU ILMU MANAGEMEN YANG HARUS DIPAKAI BUKAN ILMU MANAGEMEN EKONOMI PERUSAHAAN YANG SEBESAR BESARNYA UNTUK KEUNTUNGAN BOSS TAPI ILMU MANAGEMEN EKONOMI NEGARA YANG SEBESAR BESARNYA KEMAKMURAN RAKYAT.BEDANYA SEDIKIT CUMA SIAPA YANG UNTUNG TAPI INI MENENTUKAN HIDUP MATI BANYAK ORANG DAN MENANG KALAH NYA NEGARA

  • Anonymous said:  

    ini yang tadi ,mencantumkan emailnya dimana?
    robby
    bhanlh@yahoo.co.id

  • Fajar Indra said:  

    mas roby, saya ragu kalau saya mengerti maksud komentar anda, tapi marilah kita berandai-andai tiga ilustrasi sederhana saya berikut ini:

    Pertama, Juni lalu, pemerintah nggak menaikkan premium dikala harga minyak internasional sedang menggila, taruhlah pemerintah tidak menaikkan harga BBM. Otomatis beban subsidi pemerintah bertambah bukan? Memang apa yang dikatakan Pak Kwik itu benar, secara akuntansi pemerintah masih untung meskipun sedikit. Tapi keuntungan itu tidak bisa mengoff-set pengeluaran yang meninggi pada belanja pemerintah. Dan pada akhirnya, pemerintah mengalami defisit APBN.

    Jika anggaran pemerintah terus tergerus, paling parahnya adalah terjadinya proyek penerbitan uang baru untuk melunasi hutang jangka panjang & pendeknya. Negara tidak mungkin dalam kondisi default. Nah, jika pencetakan uang sudah bertambah, otomatis jumlah uang yang beredar akan semakin banyak. Nah, anda dapat menebak hasilnya kan? Tepat, hasilnya adalah inflasi.

    Maka dari itu, saya menyebutnya jika pemerintah tidak menaikkan BBM saat itu, maka hal itu adalah sebuah opportunity loss karena pemerintah kehilangan kesempatan untuk menekan subsidi yang selama ini menjadi beban 35% dari APBN kita.

    Kedua, taruhlah pemerintah nggak menaikkan harga premium. Otomatis harga premium di Indonesia akan sangat murah. Dan termurah di Asia. Jika saya adalah seorang pedagang besar dan memiliki banyak uang, saya akan memborong minyak murah di Indonesia dan menjualnya di negara tetangga seperti Malaysia karena hal itu membuat saya untung.

    Dengan demikian, pedagang besar seperti saya akan menikmati subsidi pemerintah. Betapa indahnya dunia bukan?

    ketiga, taruhlah kelakuan saya diatas akan ditiru oleh banyak orang berhubung kuota pembelian minyak diatur oleh OPEC. Jika semua minyak di Indonesia sudah tersedot habis keluar, yang ada hanyalah kelangkaan. Dan hal ini bisa membuat harga minyak naik dengan sendirinya tanpa harus campur tangan pemerintah.

    Intinya adalah ketika harga minyak dunia yang naik akibat kelangkaan, secara riil semua pihak yang mengkonsumsi minyak tersebut juga terkena imbas dari kenaikkan harga tersebut. Harga minyak di negara maju seperti Inggris, AS, dan negara terbelakang seperti Zimbabwe saja mengalami kenaikkan.

    kalau anda menuduh saya berpikir ala korporat, seperti nya anda salah besar. Jika saya berpikir ala korporat, justru saya akan menentang kenaikkan harga BBM dengan ilustrasi simpel yang ketiga diatas.

    NB : Jika anda mempertanyakan konsistensi pendapat saya dengan penurunan harga BBM, silakan baca artikel saya disini

  • Leave your response!

    Mohon untuk menyertakan nama dan identitas (alamat web) jika ingin berkomentar. Jika anda ingin ber-anonim, mohon cantumkan email dan nama anda.