Ingin jadi manusia low-end? Tontonlah Liga Super Indonesia
2008-08-10
Leave a Comment
Ada begitu banyak cara yang bisa kita lakukan untuk menahbiskan diri menjadi manusia low-end di muka bumi ini selain nonton sinetron, dan ngefans berat sama band-band temporer seperti Peterpan, Kangen Band, Caramel Band, Kunci Band, Pintu Band, Merpati Band, Kerbau Band, Sapi Band, Toilet Band (hehehe... lebaaiii...) dan berbagai band lainnya yang menggunakan nama yang "unik" (kecuali Ada Band). Salah satu cara lain adalah menjadi penonton setia Liga Super Indonesia 2008 (selanjutnya saya singkat ISL)! Mengapa?
Sebelum lagi ke kata "mengapa" saya akan sedikit menjelaskan tentang frasa low-end yang saya maksud. Low-end yang saya maksud disini bukanlah The Low-End theory, album kedua dari A Tribe Called Quest ataupun merk bass kenamaan dari Negeri Paman Sam. Low-end yang saya maksudkan disini adalah sebuah segmen pasar yang dikenal di dunia marketing yang menganggap sebuah segmen dari sisi ekonomi atau pendidikan terendah. Perbedaan singkatnya dengan segmen-segmen diatasnya pernah saya tulis disini. Intinya, komunitas low-end identik dengan hal-hal yang norak, nggak pas, atau dengan kata lain seleranya payah. Maaf, saya tidak sedang melakukan diskriminasi kelas sosial, tapi jika melihat dari sudut pandang pemasaran, tentunya komunitas-komunitas tersebut harus disegregasikan.
Kembali ke laptop. Mengapa ISL saya sebut low-end? Ada tiga aspek yang memperkuat alasan saya. Pertama adalah dari segi kualitas permainan. Jujur saja, masih jauh dari kata menghibur karena penuh dengan tackling-tackling kasar dengan teknik abal-abal. Selain itu, sportivitas pemain juga masih dipertanyakan. Bayangkan saja, ketika wasit menghukum penalti sebuah tim, semua pemain langsung mengerubungi wasit layaknya maling ayam yang ketangkap. Bahkan kasus pemukulan wasit masih sering terjadi belakangan ini. Dan yang lebih memalukan lagi, pelakunya adalah pemain asing! Sosok yang cukup berperan serta memiskinkan bangsa Indonesia lantaran gajinya berasal dari setoran APBD. Hal ini menunjukkan para pemainnya masih LOW-END !!! Kualitas pertandingannya? Nggak usah dipertanyakan, nanti hanya akan menambah luka sukma :p
Aspek kedua adalah para supoter. Baru-baru ini, tim-tim besar seperti Persib dan Persija dilarang main dikandang lantaran suporternya rusuh. Nama terakhir bahkan dilarang tampil di kotanya yaitu Jakarta![1]. Hal ini menunjukkan betapa payahnya mental bangsa Indonesia yang nggak pernah siap menghadapi kekalahan. Contohlah di Liga Inggris, seorang suporter yang menginjakkan kakinya di dalam lapangan ketika pertandingan baru berjalan barang sedetikpun, dikenai sanksi seumur hidup nggak boleh masuk stadion. Dan orang Inggris menghormati peraturan tersebut sehingga penonton pun tertib. Di Indonesia? jangan tanya, masyarakat kita masih kalah "beradab" dibandingkan mereka. Peraturan dibuat memang untuk dilanggar. Dan terkadang, hal seperti itu sedikit banyak juga dipengaruhi oleh kadar pendidikan mereka. Mereka mereka itu, saya sebut LOW-END !!! dan payah !!!
Aspek ketiga ada pada broadcaster yaitu ANTV. Broadcasternya sendiri terkesan menargetkan acaranya tersebut untuk komunitas low-end. Ada beberapa hal yang membuat saya berpendapat seperti itu. Pertama adalah komentar yang berlebihan. Seringnya komentator teriak-teriak nggak jelas dalam pertandingan justru menganggu suasana pertandingan. Bisa dilihat bagaimana RCTI memberikan komentar di siaran langsung Liga Champions atau ESPN memberikan komentar di Liga Inggris. Mereka nggak perlu teriak-teriak seperti anak kecil untuk membuat pertandingan tersebut menghibur. Saya mencatat seluruh presenter sepakbola ANTV itu norak dan selalu berteriak "goooooooooooooooooolllllllll" dalam durasi beberapa detik ketika terjadi gol. Belum lagi gaya mereka mengomentari pertandingan yang mirip dengan Adjat Sudrajat, presenter RRI tahun 80-90an yang menyiarkan sepakbola lewat radio.
Selain itu untuk bagian komentatornya. Saya bingung mengapa selalu ada cewek yang nggak tahu sepakbola nongkrong diantara mereka. Dan satu hal yang pasti, para pembawa acara pasti terdiri dari "jutaan" manusia, yaitu satu presenter cowok yang norak, satu presenter cewek yang nggak ngerti bola, satu komentator cowok yang sotoy (biasanya diisi Binder Singh) yang ikutan teriak-teriak (dan bersaing adu keras dengan presenter) ketika pertandingan, dan terkadang diselipkan satu komentator cewek yang modal tampang doang dan pasti tidak mengerti sepakbola. Suatu hal yang menyebabkan program ini jauh dari kata elegan!!!
Mungkin yang saya baca, penyertaan model hanya dilakukan untuk memancing kaum adam yang full of passion untuk menonton program mereka (Bisa disimpulkan, laki-laki yang diharapkan ANTV nonton programnya itu laki-laki seperti apa...). Begitu pula ajang teriak-teriak yang membuat acara terkesan ramai dan wah. Dan semua itu hanya bisa dinikmati oleh kaum low-end. Salahkah ANTV? Tentu Tidak! Mereka melakukkan hal yang sangat tepat karena begitu besarnya segmen pasar low-end di Indonesia dan pada akhirnya, kue yang begitu besar itu coba mereka kuasai.
Tiga hal tersebut telah membuat siaran Liga Super Indonesia menjadi tertuju kepada masyarakat low-end, dan hanya orang low-end lah yang mau menonton program-program untuk orang low-end. Maaf, bukannya saya nggak peduli dengan sepakbola negeri ini, tapi jika kondisi dan pengemasan seperti itu, sepakbola di republik ini sulit untuk maju karena investor pun agak malas berinvestasi disana [2]. Dan bagi anda, jika ingin tergabung dalam masyarakat low-end, silakan ditonton Liga Indonesia.
1. Datanya dari sini
2. Pendapat pribadi dengan memposisikan diri sebagai investor.
3. Foto Sriwijaya diambil dari sini
Sebelum lagi ke kata "mengapa" saya akan sedikit menjelaskan tentang frasa low-end yang saya maksud. Low-end yang saya maksud disini bukanlah The Low-End theory, album kedua dari A Tribe Called Quest ataupun merk bass kenamaan dari Negeri Paman Sam. Low-end yang saya maksudkan disini adalah sebuah segmen pasar yang dikenal di dunia marketing yang menganggap sebuah segmen dari sisi ekonomi atau pendidikan terendah. Perbedaan singkatnya dengan segmen-segmen diatasnya pernah saya tulis disini. Intinya, komunitas low-end identik dengan hal-hal yang norak, nggak pas, atau dengan kata lain seleranya payah. Maaf, saya tidak sedang melakukan diskriminasi kelas sosial, tapi jika melihat dari sudut pandang pemasaran, tentunya komunitas-komunitas tersebut harus disegregasikan.
Kembali ke laptop. Mengapa ISL saya sebut low-end? Ada tiga aspek yang memperkuat alasan saya. Pertama adalah dari segi kualitas permainan. Jujur saja, masih jauh dari kata menghibur karena penuh dengan tackling-tackling kasar dengan teknik abal-abal. Selain itu, sportivitas pemain juga masih dipertanyakan. Bayangkan saja, ketika wasit menghukum penalti sebuah tim, semua pemain langsung mengerubungi wasit layaknya maling ayam yang ketangkap. Bahkan kasus pemukulan wasit masih sering terjadi belakangan ini. Dan yang lebih memalukan lagi, pelakunya adalah pemain asing! Sosok yang cukup berperan serta memiskinkan bangsa Indonesia lantaran gajinya berasal dari setoran APBD. Hal ini menunjukkan para pemainnya masih LOW-END !!! Kualitas pertandingannya? Nggak usah dipertanyakan, nanti hanya akan menambah luka sukma :p
Aspek kedua adalah para supoter. Baru-baru ini, tim-tim besar seperti Persib dan Persija dilarang main dikandang lantaran suporternya rusuh. Nama terakhir bahkan dilarang tampil di kotanya yaitu Jakarta![1]. Hal ini menunjukkan betapa payahnya mental bangsa Indonesia yang nggak pernah siap menghadapi kekalahan. Contohlah di Liga Inggris, seorang suporter yang menginjakkan kakinya di dalam lapangan ketika pertandingan baru berjalan barang sedetikpun, dikenai sanksi seumur hidup nggak boleh masuk stadion. Dan orang Inggris menghormati peraturan tersebut sehingga penonton pun tertib. Di Indonesia? jangan tanya, masyarakat kita masih kalah "beradab" dibandingkan mereka. Peraturan dibuat memang untuk dilanggar. Dan terkadang, hal seperti itu sedikit banyak juga dipengaruhi oleh kadar pendidikan mereka. Mereka mereka itu, saya sebut LOW-END !!! dan payah !!!
Aspek ketiga ada pada broadcaster yaitu ANTV. Broadcasternya sendiri terkesan menargetkan acaranya tersebut untuk komunitas low-end. Ada beberapa hal yang membuat saya berpendapat seperti itu. Pertama adalah komentar yang berlebihan. Seringnya komentator teriak-teriak nggak jelas dalam pertandingan justru menganggu suasana pertandingan. Bisa dilihat bagaimana RCTI memberikan komentar di siaran langsung Liga Champions atau ESPN memberikan komentar di Liga Inggris. Mereka nggak perlu teriak-teriak seperti anak kecil untuk membuat pertandingan tersebut menghibur. Saya mencatat seluruh presenter sepakbola ANTV itu norak dan selalu berteriak "goooooooooooooooooolllllllll" dalam durasi beberapa detik ketika terjadi gol. Belum lagi gaya mereka mengomentari pertandingan yang mirip dengan Adjat Sudrajat, presenter RRI tahun 80-90an yang menyiarkan sepakbola lewat radio.
Selain itu untuk bagian komentatornya. Saya bingung mengapa selalu ada cewek yang nggak tahu sepakbola nongkrong diantara mereka. Dan satu hal yang pasti, para pembawa acara pasti terdiri dari "jutaan" manusia, yaitu satu presenter cowok yang norak, satu presenter cewek yang nggak ngerti bola, satu komentator cowok yang sotoy (biasanya diisi Binder Singh) yang ikutan teriak-teriak (dan bersaing adu keras dengan presenter) ketika pertandingan, dan terkadang diselipkan satu komentator cewek yang modal tampang doang dan pasti tidak mengerti sepakbola. Suatu hal yang menyebabkan program ini jauh dari kata elegan!!!
Mungkin yang saya baca, penyertaan model hanya dilakukan untuk memancing kaum adam yang full of passion untuk menonton program mereka (Bisa disimpulkan, laki-laki yang diharapkan ANTV nonton programnya itu laki-laki seperti apa...). Begitu pula ajang teriak-teriak yang membuat acara terkesan ramai dan wah. Dan semua itu hanya bisa dinikmati oleh kaum low-end. Salahkah ANTV? Tentu Tidak! Mereka melakukkan hal yang sangat tepat karena begitu besarnya segmen pasar low-end di Indonesia dan pada akhirnya, kue yang begitu besar itu coba mereka kuasai.
Tiga hal tersebut telah membuat siaran Liga Super Indonesia menjadi tertuju kepada masyarakat low-end, dan hanya orang low-end lah yang mau menonton program-program untuk orang low-end. Maaf, bukannya saya nggak peduli dengan sepakbola negeri ini, tapi jika kondisi dan pengemasan seperti itu, sepakbola di republik ini sulit untuk maju karena investor pun agak malas berinvestasi disana [2]. Dan bagi anda, jika ingin tergabung dalam masyarakat low-end, silakan ditonton Liga Indonesia.
1. Datanya dari sini
2. Pendapat pribadi dengan memposisikan diri sebagai investor.
3. Foto Sriwijaya diambil dari sini
Pertamax!!! Keputusan saya super bulat, blog ini pasti saya link!!!
Mari kita jalin hubungan baik sesama blogger...